TUGAS SOFTSKILL ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
" HUKUM PERJANJIAN "
DISUSUN OLEH : Mellyana 24211428
Kelas : 2EB04
UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI
DEPOK
BAB 1 : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebelum kita melangkah lebih jauh dan mendalam, kita dituntut untuk mengerti dan memahami apa itu Hukum Perjanjian dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Langkah pertama kita dalam membbicarakan Hukum Perjanjian dalam negara diawali dengan mengemukakan Sejarah awal terciptanya Hukum Perjanjian dan tentu saja definisi Perjanjian itu sendiri. Dengan terlebih dahulu mengemukakan definisinya yang sudah disepakati oleh pakar-pakar ilmu hukum perjanjian, kita akan mengetahui berbagai faktor dalam proses kemunculannya.
Disini saya akan mengemukakan beberapa pendapat dan berbagai pemikiran tentanf definisi perjanjian. Mayoritas masyarakat dalam mendefinisikan perjanjian cenderung pada arti keputusan yang mengikat secara sepihak. Kecenderungan pemikiran ini telah tersiar baik di masyarakat.
BAB 2 : KERANGKA PEMIKIRAN
Seperti diketahui bersama bahwa Hukum Perjanjian adalah bagian hukum perdata (privat). Hukum ini memusatkan perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sendiri (self imposed obligation). Disebut sebagai bagian dari hukum perdata disebabkan karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak. Sejak abad ke-19 prinsip-prinsip itu mengalami perkembangan dan berbagai pergeseran penting.
Pergeseran demikian disebabkan oleh: pertama, tumbuhnya bentuk-bentuk kontrak standar; kedua, berkurangnya makna kebebasan memilih dan kehendak para pihak, sebagai akibat meluasnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan rakyat; ketiga, masuknya konsumen sebagai pihak dalam berkontrak. Oleh karena itu penulis berkenan untuk membahas sejarah dari hukum perdata yang juga merupakan sejarah dalam hukum perjanjian di Indonesia.
Sistem hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh Belanda yang telah menancapkan pilar-pilar ketentuan yang mengikat antara masyarakat dengan penguasa maupun masyarakat dengan masyarakat sendiri. Sistem hukum yang dimaksud adalah sistem hukum Eropa atau disebut juga sistem hukum Romawi Jerman. Adapun sumber dari sistem hukum Eropa atau Romawi Jerman ini adalah hukum Romawi kuno yang dikembangkan di benua Eropa (Eropa Kontinental) oleh negara-negara seperti Prancis, Spanyol, Portugis dan lain-lain.
Berkembangnya sistem hukum Romawi Jerman adalah berkat usaha dari Napoleon Bonaparte yang berusaha menyusun Code Civil atau Code Napoleon dengan sumber berasal dari hukum Romawi. Sistem hukum ini pertama kali berkembang dalam hukum perdatanya atau private law atau civil law yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama anggota masyarakat. Oleh karena itu, sistem hukum Romawi Jerman ini lebih terkenal dengan nama sistem hukum civil law.
Selain sistem civil law, juga dikenal dengan adanya sistem common law. Rene Devid dan John E.C. Brierley menyebutkan terdapat tiga sistem hukum yang dominan yakni sistem hukum: civil law, common law, dan socialist law. Namun, dalam perkembangannya sistem socialist law ini ternyata banyak dipengaruhi oleh sistem civil law dimana negara-negara sosialis banyak menganut sistem civil law.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa sistem hukum yang dominan hanya dua yaitu sistem hukum civil law dan common law. Sistem common law bersumber dari hukum Inggris yang berkembang dari ketentuan atau hukum yang ditetapkan oleh Hakim (Judge) dalam keputusan-keputusan yang telah diambilnya (judge made law). Umumnya di negara dengan sistem hukum common law terdapat ketidakpastian hukum dan untuk menghindari hal tersebut maka sejak abad ke-19 dipegang asas hukum yang bernama the rule of precedent yaitu keputusan-keputusan hakim yang sudah ada harus dijadikan pegangan atau keputusan hakim itu harus mengikuti keputusan hakim sebelumnya.
Sistem hukum common law ini dianut oleh negara-negara yang berbahasa Inggris beserta dengan persemakmurannya, seperti negara Inggris, Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Kecuali negara bagian Lousiana di Amerika Serikat dan provinsi Quebec di Kanada yang menganut sistem hukum civil law.
2.2 Pengertian
Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik dikedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
Menurut Pasal 1320
KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan
hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama merupakan awal dari
terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi
perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat
tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan
kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari
salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada saat penyusunan kontrak, para
pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum
dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak
cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan
mereka yang berada dibawah pengampunan.
3.
Mengenai suatu hal tertentu
Secara yuridis suatu perjanjian harus
mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah
objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek
tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan
dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
4.
Suatu sebab yang halal
Setiap perjanjian yang dibuat para
pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada
bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat
subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan
perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat
diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif,
yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut
dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian
telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian,
maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.
2.3 Asas - Asas Perjanjian
2.3 Asas - Asas Perjanjian
Asas-asas
perjanjian diatur dalam KUHPerdata, yang
sedikitnya terdapat 5 asas yang perlu mendapat perhatian dalam membuat
perjanjian: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract),
asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian
hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good
faith) dan asas kepribadian (personality).
1. Asas
Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Setiap orang dapat secara bebas membuat
perjanjian selama memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum,
kesusilaan, serta ketertiban umum. Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.” “Semua perjanjian…” berarti perjanjian apapun,
diantara siapapun. Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama
kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak
melanggar hukum (undang-undang), kesusilaan (pornografi, pornoaksi) dan
ketertiban umum (misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan).
2. Asas
Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan
perjanjian, misalnya salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi), maka hakim
dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan
hak dan kewajibannya sesuai perjanjian – bahkan hakim dapat memerintahkan pihak
yang lain membayar ganti rugi. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan bahwa
hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum – secara
pasti memiliki perlindungan hukum.
3. Asas
Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme berarti kesepakatan
(consensus), yaitu pada dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik
tercapainya kata sepakat. Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat
dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas
tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal undang-undang
memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian, misalkan
syarat harus tertulis – contoh, jual beli tanah merupakan kesepakatan yang
harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik Notaris.
4. Asas
Itikad Baik (good faith/tegoeder trouw)
Itikad baik berarti keadaan batin para
pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan
saling percaya. Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh
maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya.
5. Asas
Kepribadian (personality)
Asas kepribadian berarti isi perjanjian
hanya mengikat para pihak secara personal – tidak mengikat pihak-pihak lain
yang tidak memberikan kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili dirinya
sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat perjanjian.
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya.
2.4 Jenis - Jenis Perjanjian
Ada beberapa jenis perjanjian yaitu :
- Perjanjian menurut sumbernya;
b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, contoh Peralihan Hak Milik;
c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;
d. Perjanjian yang bersumber dari Hukum Acara (bewijs overeenskomst);
e. Perjanjian yang bersumber dari Hukum Publik (publiekerchtelicke overeenskomst).
- Perjanjian Menurut Namanya
Kontrak Nominaat merupakan kontrak yang di kenal dalam KUH Perdata, contoh : jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, pinjam pakai, dan lain-lain;
b. Kontrak Innominaat (tidak bernama)
Kontrak Innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, contoh : Leasing, Franchise, Production Sharing, dan lain-lain.
- Perjanjian Menurut Bentuknya
a. Perjanjian tertulis;
b. Perjanjian tidak tertulis.
- Perjanjian Timbal Balik:
a. Perjanjian timbal balik tidak sempurna, yang selalu menimbulkan kewajiban pokok bagi satu pihak, sedangkan pihak lainnya wajib melakukan sesuatu.
b. Perjanjian sepihak, merupakan perjanjian yang selalu timbul kewajiban hanya bagi satu pihak.
- Perjanjian Cuma-Cuma
a. Perjanjian Cuma-Cuma merupakan perjanjian yang menurut hukum hanyalah timbul keuntungan bagi salah satu pihak. Contoh : hadiah dan pinjam pakai;
b. Perjanjian dengan alas hak yang membebani, yaitu merupakan perjanjian, disamping prestasi pihak yang satu, senantiasa ada prestasi dari pihak lain.
- Perjanjian Berdasarkan Sifatnya
b. Perjanjian Obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari para pihak.
- Perjanjian Dari Aspek Larangannya
a. Perjanjian oligopoli;
b. Perjanjian penetapan harga;
c. Perjanjian dengan harga yang berbeda;
d. Perjanjian dengan harga di bawah pasar;
e. Perjanjian bersyarat;
f. Perjanjian pembagian wilayah;
g. Perjanjian pemboikotan;
h. Perjanjian kartel;
i. Perjanjian trust;
j. Perjanjian oligopsoni;
k. Perjanjian integrasi vertikal;
l. Perjanjian tertutup;
m. Perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
2.5 Akibat Perjanjian
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, perjanjian bukanlah perikatan moral tetapi perikatan hukum yang memiliki akibat hukum. Akibat hukum dari perjanjian yang sah adalah berlakunya perjanjian sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Yang dimaksud dengan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, adalah bahwa kesepakatan yang dicapai oleh para pihak dalam perjanjian mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya suatu undang-undang.
Para pihak dalam perjanjian tidak boleh keluar dari perjanjian secara sepihak, kecuali apabila telah disepakati oleh para pihak atau apabila berdasarkan pada alasan-alasan yang diatur oleh undang-undang atau hal-hal yang disepakati dalam perjanjian.57 Sekalipun dasar mengikatnya perjanjian berasal dari kesepakatan dalam perjanjian, namun suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga mengikat untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, dan kebiasaan atau undang-undang.
Untuk itu setiap perjanjian yang disepakati harus dilaksanakan dengan itikad baik dan adil bagi semua pihak.
1. Wanprestasi
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa.
2. Tidak Memenuhi Prestasi Sama Sekali
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
3. Memenuhi Prestasi Tetapi Tidak Tepat Waktunya
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
4. Memenuhi Prestasi Tetapi Tidak Sesuai Atau Keliru
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan. Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi. Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.
2.6 Berakhirnya Perjanjian
1. Sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri
2. Atas persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjian itu sendiri.
3. Akibat peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya perjanjian, perubahan kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota, timbulnya norma hukum internasional yang baru, perang.
Sumber :
http://www.scribd.com/doc/13273734/HUKUM-PERJANJIAN
http://0wi3.wordpress.com/2010/04/20/hukum-perjanjian/
http://legalakses.com/category/artikel/hukum-perjanjian-artikel/
DAFTAR PUSTAKA
Alfa Sidharta Brahmandita. 2010. Tinjauan Teoritis - Sah dan mengikatnya, Program Studi Fakultas Hukum. Depok: FH UI
S.H Subekti . 1990. Publish by PT Intermasa, Hukum Perjanjian. (Online), (http://www.goodreads.com/book/show/10858749-hukum-perjanjian)
Suharnoko, SH., MLI. 20099. Publish by Kencana, Teori dan Analisa Kasus. (Online), (http://www.goodreads.com/book/show/10859112-hukum-perjanjian)
Tau gak akibat suatu perjanjian yang sah ?
BalasHapus